I.PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Meningkatkan produksi pertanian suatu negara adalah suatu tugas yang kompleks, kerena banyaknya kondisi yang berbeda yang harus dibina atau diubah oleh orang ataupun kelompok yang berbeda pula. Seperti halnya permasalahan pertumbuhan penduduk yang tinggi yang mengimbangi permintaan atas kebutuhan pangan meningkat pesat, namun hal tersebut tidak diimbangi dengan produksi hasil pertanian yang mampu untuk memenuhi permintaan kebutuhan akan bahan pangan.
Namun hal itu juga mendorong para petani untuk mencoba menanam jenis-jenis tanman baru, dan dengan bantuan para insinyur dan para peniliti untuk mengembangkan varietas tanaman tersebut dengan menemukan teknik penggunaan pupuk, mengatur kelembapan tanah yang lebih maju serta meggunakan teknologi pertanian yang lebih maju untuk mengembangkan pembangunan pertanian ke arah yang lebih baik sehingga mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan dari jumlah masyrakat yang terus meningkat.
Pada dasarnya pembangunan pertanian di Indonesia sudah berjalan sejak masyarakat Indonesia mengenal cara bercocok tanam, namun perkembangan tersebut berjalan secara lambat. Pertanian awalnya hanya bersifat primitif dengan cara kerja yang lebih sederhana. Seiring berjalannya waktu, lama kelamaan pertanian berkembang menjadi lebih modern untuk mempermudah para petani mengolah hasil pertanian dan mendapatkan hasil terbaik dan banyak.
Dengan demikian pembangunan pertanian mulai berkembang dari masa ke masa. Dalam proses pembangunan pertanian tersebut, bantuan para ahli di bidang pertanian dan pemerintah sangat dibutuhkan untuk mendukung dan memberi fasilitas maupun pegetahuan kepada para petani untuk memberi metode baru kepada para petani dan mengubah cara berpikir mereka menjadi lebih kompleks sehingga mampu untuk meningkatkan produksi pertanian dalam negri ini.
Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran penulis untuk mengupas tentang pembangunan pertanian yang telah bergulir beberapa era di Indonesia, untuk mencari tahu apa saja pembangunan pertanian yang terjadi di negri ini sejak Indonesi mulai meneguk kebebasan dari kemerdekaan hingga Indonesia mulai mencoba untuk bangkit membangun kemajuan negri ini di era reformasi saat ini.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat ditarik beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Apa perbedaan pola pertanian di era orde baru dan reformasi?
2. Apa saja kebijakan-kebijakan yang sudah dilakukan oleh pemerintah era orde baru dan reformasi dalam pembangunan pertanian?
3. Apa saja kelebihan dan kekurangan sistem pertanian dari masa ke masa?
1.3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulis mengupas masalah tentang Pembangunan Pertanian di Indonesia adalah untuk melatih penulis dalam pembuatan makalah dan membuka wawasan penulis tentang pembangunan pertanian di Indonesia dan betapa pentingnya pembangunan pertanian yang akan memiliki dampak yang besar bagi kehidupan mayarakat dan pertumbuhan perekonomian Indonesia nantinya.
1. Untuk mengetahui perbedaan pola pertanian di era orde baru dan reformasi.
2. Untuk mengetahui saja kebijakan-kebijakan yang sudah dilakukan oleh pemerintah era orde baru dan reformasi dalam pembangunan pertanian.
3. Untuk mengetahui saja kelebihan dan kekurangan sistem pertanian dari masa ke masa.
II. PEMBAHASAN
2.1 Kebijakan-kebijakan Pembangunan Pertanian Pada Masa Sebelum Kemerdekaan
a) Feodalisme dan Monopoli Perdagangan.
Pada tahun 1453, dikuasainya Yunani dan Instambul (Constantinopel) dari Itali oleh bangsa Turki menyebabkan perubahan dalam lalu lintas perdagangan antara Asia dan Eropa. Hal tersebut juga didorong oleh beberapa negara Eropa yang ingin mencari terobosan baru dalam mencari jalan menuju Asia, yang kemudian diawali oleh bangsa Portugis. Meskipun pada awalnya motif mereka bukanlah motif ekonomi, yakni lebih didorong oleh semangat perang Salib, namun ketika berbagai barang baru seperti emas pasir dan binatang seperti kera, singa, burung nuri di Afrika pada tahun 1441, semakin mendorong mereka untuk menemukan jalan ke Asia melalui Afrika dengan motif ekonomi. Hingga pada tahun 1509 mereka untuk pertama kalinya datang di Indonesia.
Atas dasar motif tersebut mereka cenderung menggunakan pendekatan militer untuk menguasai jalur-jalur perniagaan di Asia yang pada waktu itu berada diselat Malaka, teluk Persia dan laut Merah. Pada tahun 1511, Portugis berhasil menduduki kota Malaka dan Maluku. Dari sana mereka kemudian memperoleh hak monopoli atas cengkeh dan diperbolehkan mendirikan benteng. Kentalnya semangat perang salib, membuat Portugis dimusuhi oleh kerajaan-kerajaan Jawa yang pada waktu itu merupkan kerajaan muslim seperti Demak dan Djepara. Bahkan mereka beberapa kali sempat mengirim ekspedisi untuk menyerang Portugis di Malaka pada tahun 1530 dan berhasil dikalahkan oleh armada Portugis di Ambon.
Seabad setelah Portugis datang di Indonesia, bangsa Belanda sampai diAsia. Kekalahan Portugis pada tahun 1580 dalam ”Perang Delapan Puluh Tahun”, menyebabkan perdagangan Belanda dilarang disana. Hal itu yang kemudian mendorong Belanda untuk mencari sendiri jalan ke Asia. Pada tahun 1589, untuk pertama kali mereka berlabuh di Banten. Berbeda dengan Portugis yang masih sangat kental akan motif-motif abad pertengahan yang mengedepankan semangat religi, Belanda datang di Indonesia dengan motif murni perniagaanya, hingga pada tahun 1602 didirikan VOC (Verenigde Ost-Indische Compagnie) yakni gabungan kongsi-kongsi yang berlayar ke Indonesia.
Pada mulanya, dalam menghadapi kegiatan perdagangan di Indonesia, VOC mengambil sikap menyesuaikan diri dengan pola dan sistem perdagangan yang berlaku. Namun, karena tujuannya kemudian hendak merebut kekuasaan perdagangan di Indonesia dan Asia, maka VOC berusaha merebut monopoli perdagangan dari para raja atau pedagang pribumi. Dalam usahanya menguasai jalur perdagangan di Indonesia, hal tersebut dilakukan dengan berbagai jalan, yaitu melalui upaya penaklukan dengan kekuasaan, melalui kontrak monopoli dan melakukan persetujuan atas perdagangan bebas. Orientasi yang yang selalu mengikuti pasaran Eropa membuat langkah-langkah yang diambil oleh VOC di Indonesia selalu berubah-ubah, akibatnya hal tersebut selalu merugikan pihak pribumi yang harus berganti-gantian menanam dan menyiapkan komoditi perdagangan VOC.
Karena beban yang sangat memberatkan seperti pajak, cukai, penyerahan hasil, kerja rodi, beban tanah partikelir dan lain-lain, rakyat yang tinggal dalam wilayah partikelir hidup sangat miskin dan menderita. Tidak jarang terjadi rakyat ”mencuri” padi dari sawahnya sendiri sekedar untuk meringankan pajak atau terpaksa merampok dan membunuh karena dorongan membela diri dan mengatasi rasa lapar.
Hingga tahun 1677, keberadaan Belanda di Jawa membuat mereka mendapatkan suplai beras (yang tetap merupakan hasil eksport yang terpenting) dengan pembelian yang biasa. Sebagai upah atas bantuan militer dalam menumpas pemberontakan-pemberontakan, maka pada tahun itu Kerajaan Mataram memberikan VOC monopoli untuk mengimpor barang tekstil dan candu, monopoli untuk mengekspor gula dari Semarang dan Jepara, hak beli utama bagi beras serta hak menguasai dan menerima pendapatan dari pelabuhan-pelabuhan pantai Utara. Bahkan pada tahun 1755, Sultan Mataram menyerahkan Mataram kepada Belanda, yang dengan demikian menjadi tuan tanah (leenheer) Mataram.
Pada abad ke-18, Inggris mulai muncul dalam perairan Asia sebagai pesaing utama Belanda. Dengan kekuatan maritim yang yang kuat perlahan Inggris mulai menggeser dominasi Belanda di perairan Indonesia bahkan di Asia. Setelah tahun 1700 sebagian besar perdagangan luar negeri Belanda runtuh, sedangkan daerah-daerah kekuasaannya di Asia hilang. Di India ia terdesak oleh Inggris dan Perancis yang kekuatannya bertambah.
Setelah tahun 1750 berakhirlah kebesaran Belanda. Dalam tahun 1784, setelah berperang dan mengalami kekalahan melawan Inggris, Belanda mengizinkan Inggris kebebasan berlayar di Indonesia. Kondisi tersebut membuat pemerintahan Belanda semakin memburuk, yang kemudian ditambah lagi dengan adanya korupsi yang merajalela diantara pegawai-pegawainya. Akhirnya pada tahun 1798, VOC dibubarkan.
b). Era Kolonialisasi Tanah dan Pertanian.
Peperangan Eropa yang menyertai perebutan kekuasaan terus menerus yang kemudian mengantar perwira militer altileri, Napoleon Bonaparte dalam kedudukan puncak pasca revolusi Perancis. Hal tersebut kemudian berbuntut dengan runtuhnya kekuasaan Belanda di Hindia Belanda. Berturut-turut kemudian Willem Daendels dan Jan Willem Janssens sebagai penguasa Hindia Belanda mewakili Napoleon Bonaparte (1808-1811).
Kedudukan Perancis di Hindia Belanda kemudian digantikan oleh Inggris dengan Sir Stamford Raffles (1811-1816) sebagai Letnan Jendral di Jawa. Pada masa pemerintahan Raffles, mereka kemudian menerapkan kebijakan baru dalam sektor Agraria yakni melalui kebijakan Stelsel Tanah / pajak tanah (1813-1830). Semangat kebebasan yang diilhami oleh semangat revolusi Perancis yakni, “kebebasan, persamaan dan persaudaraan“, telah mengilhami pendapat-pendapat ketatanegaraan Raffles dalam kepemimpinannya di Jawa. Menurutnya kebebasan bertentangan dengan monopoli dan paksaan.
Raffles menerapkan sistem pajak tanah yang mengharuskan masyarakat untuk membayar pajak atas tanah yang dimilikinya. Suatu sistem lain yang dioperasikan pada masa itu adalah sistem sewa tanah. Dua sistem ini dijalankan sebagai bentuk politik pemerintah kolonial Inggris. Walaupun politik baru tersebut diarahkan kepada kemakmuran massa, tetapi hal ini hanya sebagai jalan (alat) dan bukannya tujuan itu sendiri.
Kepentingan rakyat diperhatikan, karena hal itu sejalan dengan kepentingan pemerintah kolonial, tujuan utamanya tetap mendapatkan barang-barang untuk ekspor. Kepastian hukum dan kebebasan orang dan benda; sedangkan labanya harus terdiri dari ekspor yang diselenggarakan (diorganisir) oleh partikelir.
Tapi, dilihat dari hasilnya, sistem sewa tanah ini mengalami kegagalan. Tujuannya untuk menimbulkan kemakmuran rakyat dan memajukan ekspor tidak terwujud. Oleh karenanya pasca kepemimpinan Raffles di Hindia Belanda, Gubernur Jendral Van Der Capellen berusaha melindungi tanah-tanah milik rakyat dari tangan-tangan orang eropa. Baginya penyerahan tanah kepada orang-orang Eropa berarti penyerahan daerah dengan penduduknya, sebagaimana tanah partikelir. Menurutnya campur tangan orang-orang eropa dalam pertanian kecuali bagi gula dan nila yang tidak penting itu hanyalah “een vijfde rad aan de wagen“ (tak berguna dan merintangi atau memusnahkan) atau merupakan parasiet plant (tumbuhan benalu) yang akan merintangi penduduk dan pertumbuhannya.
Ketika Van Den Bosch diangkat menjadi Gubernur Jendral di Hindia Belanda, negeri itu sedang mengalami kesulitan keuangan, baik karena peperangan dalam rangka meluaskan jajahannya di Indonesia maupu peperangan dengan Belgia. Hal tersebutlah yang menjadi alasan bagi Van Den Bosch untuk menerapkan kebijakan tanam paksa / culturstelsel (1830-1870) di Hindia Belanda.
Dengan adanya kebijakan culturstelsel ini maka rakyat juga harus menanam tanaman-tanaman ekspor diatas tanah pertanian, sebagai upah atas penanaman itu tidaklah diberikan uang tetapi pembebasan dari kewajiban membayar pajak tanah yang sangat berat itu. Menurut Van Den Bosch pajak ”in natura” ini lebih sesuai dengan sifat rumah tangga desa daripada pajak dalam bentuk uang yang menyebabkan rakyat terpaksa menjual barang-barang hasilnya sehingga mudah disesatkan atau tertipu. Karena culturstelsel sangat sesuai sekali dengan perkembangan pergaulan hidup Jawa pada waktu itu, maka tujuan stelsel itu yang semata-mata untuk mempertinggi produksi ekspor, tercapai seluruhnya, walaupun dalam permulaannya menghadapi kesulitan-kesulitan.
Suatu bahaya kelaparan di Jawa Tengah pada tahun 1849-1850 membuka mata umum di negeri Belanda tentang keadaan-keadaan di Jawa, yang mana bencana tersebut disebabakan oleh tanam paksa. Akibatnya, hal diatas mendatangkan kecaman yang keras dari golongan liberal terhadap golongan konservatif di Parlemen Belanda. Kecaman itu disertai bukti-bukti bahwa terjadi proses kemiskinan didaerah jajahan.
Hal ini berarti pula berubahnya politik kolonial yang dijalankan antara 1850 dan 1860 ; tekanan penanaman paksa diperingan, dan stelsel tanam paksa diserang dengan hebat. Aliran baru menuntut kebebasan pengusaha-pengusaha partikelir untuk mengusahakan pertanian ekspor, dan untuk hal itu menuntut pula dihapuskannya stelsel tanam paksa. .
c). Masa Pendudukan Jepang 1942-1945.
Pada tahun 1942, pemerintahan Hindia Belanda takluk kepada Heitesan Dai Nippon Tei Koku (serdadu kerajaan Jepang Raya), Tanah Jawa berada dibawah pendudukan Rikugun (Angkatan Darat Jepang). Tujuan penyerbuan Jepang di Indonesia adalah untuk mengeksploitasi sumber-sumber daya ekonomi. Politik agraria pada zaman penguasaan Jepang dipusatkan pada penyediaan bahan makanan untuk perang dalam menghadapi Sekutu. Jepang berusaha sekeras-kerasnya untuk meningkatkan produksi pangan untuk kepentingan ekonomi “perang“ Jepang. Penanaman bahan makanan digiatkan dengan mewajibkan rakyat menggunakan pengetahuan dan teknik pertanian yang baru, perluasan areal pertanian dan penanaman komoditas baru seperti kapas, yute-rosela dan rami.
Masa pendudukan Jepang ditandai oleh mobilisasi penduduk penduduk pedesaan melalui organisasi-organisasi “fasis“, yang bertujuan untuk mobilisasi dan kontrol. Kebijakan mobilisasi ini selalu dipadukan dengan kontrol ketat oleh pemerintah pendudukan Jepang. Seluruh kegiatan ekonomi-produksi, sirkulasi dan distribusi, secara ketat dikontrol melaui peraturan-peraturan dan dekrit pemerintah.
2.2 Kebijakan - Kebijakan Pembangunan Pertanian Pada Masa Pasca Kemerdekaan (Pemerintahan Soekarno, 1945 - 1966 )
Setelah Proklamasi dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945, pemerintah negara Indonesia dihadapkan pada persoalan masih kentalnya struktur warisan kolonial, seperti masih beroperasinya perusahaan-perusahaan asing multinasional raksasa di bidang perkebunan dan pertambangan serta hancurnya tatanan mode produksi masyarakat Indonesia.
Pemerintah justru lebih melihat pada pembangunan sistem pertanian daripada merubah sistem agraria yang ada. Hal ini dimulai sejak tahun 1945 lewat program peningkatan produksi padi, yang dilanjutkan lagi pada tahun 1947; dan baru terealisir pada tahun 1950 setelah situasinya stabil lewat pendirian Badan Pendidikan Masyarakat Desa (BPMD) sebagai badan penyuluh pertanian. Namun, karena keterbatasan dana, sistem penyuluhan tersebut tidak dapat berjalan, yang berakibat pada kecilnya kenaikan produksi padi. Hal tersebut kemudian memaksa pemerintah untuk mengimpor beras, dari 334.000 ton ditahun 1950 menjadi 800.000 ton ditahun 1959.
Selanjutnya dimulailah Rencana Tiga Tahun Produksi Padi tahun 1959-1961 dengan target mencapai swasembada pangan pada tahun 1961. Untuk itu kemudian dibentuk Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE) yang langsung diketuai oleh presiden Soekarno. Untuk memperbaiki sarana pertanian, dibentuklah Komando Operasi Gerakan Makmur (KOGM) mulai dari tingkat pusat hingga tingkat desa. Ditingkat desa, dibentuk Pamong Tani Desa (PTD) yang bertugas membantu kepala desa mencapai swasembada beras. Di tahun 1959 juga dibentuk Badan Perusahaan Bahan Makanan dan Pembuka Tanah (BMPT) yang bertugas meningkatkan penyediaan sarana produksi pertanian. Badan ini memiliki dua anak perusahaan yakni, padi Sentra dan Mekatani. Padi Sentra bertugas mengadakan, menyalurkan dan menyediakan sarana produksi seperti bibit unggul, pupuk, obat-obatan; sementara Mekatani bertugas membuka lahan baru secara mekanis terutama diluar pulau Jawa.
Sejak tahun 1960-an mulai diadakan inisiatif perubahan dari “bawah”, khususnya lewat keaktifan dari kaum tani kecil dan buruh tani. Di tahun itu, dikeluarkan beberapa Undang-Undang yang mengatur program pembaruan agraria, yaitu Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mo. 5 tahun 1960 yang mengatur tentang landreform, Undang-Undang no. 56 tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian dan Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH) no. 2 tahun 1960 yang mengatur sistem bagi hasil.
Dengan ditetapkannya UUPA, maka sistem hukum kolonial yang menyangkut hukum agraria seluruhnya dicabut, peraturan-peraturan itu adalah Agrarische Wet (S. 1870-55), Domein-verklaring, Algemene Domeinverlklaring, Koninklij Besluit serta buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata khususnya mengenai bumi,air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan Hypotheek.
Pada tahun 1963/1964 dicetuskanlah Swa Sembada Bahan Makan (SSBM) dengan memperbaiki aspek perencanaan dan pembagian kerja, yang kemudian berwujud dalam penyelenggaraan pusat-pusat intensifikasi yang berfungsi juga sebagai pusat bimbingan untuk Koperasi Produksi Pertanian (KOPERTA), yang kemudian dikenal dengan nama DEMAS (Demonstrasi Massal). Program ini dianggap berhasil karena hasilnya sangat baik, sehingga arealnya diperluas 15 kali lipat pada bulan Juli 1965. Pada tanggal 10 Agustus 1965 nama DEMAS diganti dengan Bimbingan Massal (BIMAS) dengan luas areal 150.000 hektar di Jawa dan diluar Jawa.
Namun September 1965 terjadi huru-hara G30S PKI yang menghancurkan seluruh bangunan pertanian nasional yang coba ditata oleh pemerintah Orde Lama. Hal tersebut ditandai dengan konflik politik yang kuat antara militer khususnya Angkatan Darat, dengan gerakan kiri Partai Komunis Indonesia (PKI). Meskipun pada awalnya Soekarno mampu meredam terjadinya konfrontasi secara terbuka dari kedua belak pihak, namun peristiwa G 30 S PKI memicu perubahan konstelasi politik secara drastis. Yang kemudian akibatnya adalah: Pertama, terkonsolidasinya kekuatan anti PKI yang dimotori oleh militer serta partai-parta Islam. Kedua, gelombang demonstrasi terus-menerus, dengan ujung tombaknya pada tiga tuntutan rakyat (Tritura) yang isinya antara lain: Bubarkan PKI, Turunkan Harga dan Bubarkan kabinet Dwikora 100 mentri. Ketiga, penghancuran PKI dan organisasi-organisasi pendukungnya.
Naiknya Soeharto kepucuk pimpinan di Indonesia, menyebabkan terjadinya pergeseran dalam arah pembangunan pertanian serta agraria di Indonesia. Warisan-warisan kolonial yang sebelumnya coba ditata ulang oleh Orde Lama, dihancur leburkan oleh kebijakan baru Orde Baru yang sangat berorientasi ke barat-baratan serta dikomuniskannya kebjiakan-kebijakan agraria yang pernah digagas oleh Orde Baru Lama. Hal tersebut menandai kebijakan baru dengan orientasi baru atau yang nantinya kemudian dikenal dengan kebijakan Revolusi Hijau pada massa Orde Baru.
2.3 Kebijakan-Kebijakan Pembangunan Pertanian pada masa Orde Baru Sampai Reformasi.
Perbedaan Pola Pertanian di Era Orde Baru dan Reformasi Pertanian mulai timbul pada saat manusia mulai mengendalikan pertumbuhan tanaman dan hewan, dengan mengaturnya sedemikian rupa sehingga dapat memberikan keuntungan. Pada awalnya pertanian masih bersifat primitif dengan hanya mengharapkan kondisi alam sebagai faktor pendukung. Namun seiring berkembangnya zaman, pertanian menjadi lebih berkembang ke arah modernisasi.
Pada pertanian yang berazaskan modern, manusia akan mempergunakan kecerdasan otaknya untuk meningkatkan penguasaannya akan semua faktor yang akan mendukung pertumbuhan dari tanaman dan hewan. Semakin berjalannya waktu sistem pola pertanian dari masa ke masa pun akan terus berkembang menjadi lebih baik untuk menghasilkan hasil pertnian yang lebih baik pula. Seperti era orde bru dan reformasi. Tentunya pada perubahan era pemerintahan, sistem pola pertanian di Indoneia juga akan berubah.
Pada masa orde baru pembangunan pertanian diorientasikan kepada pemenuhan kebutuhan pangan dalam negri, dan sistem agribisnis dikembangkan secara simultan dan harmonis. Pada masa orde baru untuk teknik pertanian biasa dilakukan di tanah datar sehingga teknik ini disebut bertegal ( cara bertani di tanah kering). Setelah itu di bersihkan dan kemudian di tanami oleh tanaman penghasi bahan pangan. Jika pada zaman dahulu pertanian hanya dilakukan secara sederhana hanya dengan mengharapkan dan berpangku tangan pada kondisi alam namun di era orde baru hal tersebut telah berkembang menjadi lebih kompleks dengan pengetahuan petani tentang masalah pemupukan yang akan mendukung hasil dari produksi pertanian tersebut yang akan meningkat.
Selain itu, juga diterapkan teknologi yang lebih modern untuk kemajuan pertanian seperti pemberantasan hama pembibitan maupun sistem irigasi yang mulai berkembang untuk mempermudah para petani mengairi sawahnya. Bahkan sawah juga selain dugunakan untuk menanam padi, juga dapat digunakan untuk menanam tanaman hortikultura.
Tidak hanya berhenti pada lahan datar yang digunakan untuk lahan pertanian, lahan gambut pun mulai digunakan menjadi lahan pertanian bagi para petani sebagai areal persawahan, selain itu juga dikembangkn sitem reboisasi dan terassering sebagi bagian dari teknologi modern pada masa orde baru.
Di era reformasi, dewasa ini tentunya sistem pola pembangunan pertanian di Indonesia semakin berkembang dibanding era orde baru. Para petani melanjutakan pembangunan era orde baru yang menggunakan pembasmi hama, teknik pembibitan yang lebih ditingkatkn sehinnga padi dapat menghasilkan panen yang lebih banyak dan lebih meningkat pada kualitas hasil produksi.
Selain itu pola memanen yang dulunya dilakukan secara sendiri kini sudah menggunakan mesin untuk mempercepat proses memanen dan lahan dapat segera ditanami kembali. Dan semakin berkembangnya teknologi pertanian di Indonesia, lahan-lahan yang sulit digunakan untuk ditanami pun mulai dibuka menjadi areal tanam bagi tanaman yang memberikan penghasilan bagi devisa negara, seperti halnya penanaman di lahan yang tergenang maupun lahan yang tidak rata ataupun berbukit.
Namun pada dasarnya penggunaan pembasmi hama dan pembibitan untuk mencari bibit unggul serta lahan yang tidak biasa dibuka untuk lahan pertanian biasanya akan menimbulkan permasalahan yang akan menyulitkan bagi pertumbuhan tanaman tersebut
1.Kebijakan Pertanian di Era Orde Baru.
a.REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun).
REPELITA adalah Rencana Pembangunan Lima Tahun yang menjadi kebijakan dari Presiden Soeharto pada masa Orde Barru untuk meningkatkan pembangunan Indonesia dari segi apa saja, tetapi lebih diutamakan pada pembangunan sektor pertanian.
REPELITA sendiri terdiri dari berberapa tahap yang kesemuanya difokuskan untuk membangun sistem pertanian Indonesia dengan turut memajukan sektor lain yang juga mendukung pembangunan sektor pertanian seperti sektor industri dan teknologi.
b. Revolusi Hijau
Revolisi Hijau merupakan upaya untuk meningkatkan produksi biji-bijian dari hasi penemuan ilmiahberupa benih unggul baru dari beragam varietas gandum, padi dan jagung yang membuat hasi panen komoditas tersebut meningkat di negara-negara berkembang.
Revolusi Hijau dipicu dari pertambahan penduduk yang pesat, yakni bagaimana mengupayakan peningkatan hasil produksi pertanian. Peningkatan jumlah penduduk harus diimbangi dengan peningkata produksi pertanian. Perkembangan Revolusi Hijau yang sangat pesat juga berpengaruh pada masyarakat Indonesia. Sebagian besar kondisi sosial-ekonomi mayarakat Indonesia berciri agraris. Oleh karena itu pembangunan pertanian menjadi sektor yang sangat penting dalam upaya peningkatan pertumbuhan ekonmi Indonesia.
Hal tersebut didasari oleh:
1. Kebutuhan penduduk yang meningkat dengan pesat
2. Tingkat produksi pertanian yang masih sangat rendah
3. Produksi pertanian belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan penduduk.
c. Pembangunan Irigasi dan Produksi Padi
Mengenai perkembangan luas lahan dan luas produksi padi yang dihasilkan, terlihat bahwa sejak masa Orde Baru memegang pemerintahan (1966) sampai dengan tahun 1987 luas lahan irigasi melonjak hampir 2 kali lipat dengan laju sebesar 2,4% per tahun. Luas kenaikan maksimum dicapai pada tahun 1987. tendensi ini diikuti dengan melonjaknya jumlah produktifitas padi. Pada tahun 1987 produksi padi meningkat hingga 44 juta ton, naik 3 kali lipat sejak tahun 1966. Tingkat produksi yang dicapai ini diperoleh dengan naiknya intensitas tanam hingga mencapai rata-rata 1,8. Mengenai kenaikan produksi persatuan luas, tercatat naik dari 2,4 ton/ha menjadi 4,5 ton/ha. Nilai ini bila diplotkan ke dalam sejarah evolusi padi di negara-negara berkembang dengan Jepang sebagai perbandingan, telah berada di fase keempat bersama-sama dengan Taiwan. Walaupun demikian masih lebih rendah Korea dan Jepang yang telah mencapai 6-7 ton/ha, tetapi jauh lebih tinggi dari Philipina, Laos, Myanmar maupun Vietnam.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa lahan irigasi memberikan peranan yang besar dalam mencapai swasembada pangan. Kira-kira 60-70% padi diproduksi dari lahan beririgasi. Walaupun demikian, bila melihat perkembangn penduduk, untuk terus mempertahankan swasembada pangan masih perlu banyak inovasibaru. Perhitungan secara sederhana mengenai luas lahan beririgasi terus meningkat seirama dengan pertambahan penduduk. Padahal kalau melihat besarnya derajad irigasi seperti telah diuraikan di atas, peluang mengembangkan lahan irigasi secara horizontal, terutama di pulau-pulau yang termasuk dalam grup pertama, nampaknya semakin sempit. Yang menjadi persoalannya adalah bagaimana menyeimbangkan antar penyediaan sumberdaya air dari alam dengan kebutuhan air khususnya untuk memproduksi bahan pangan yang semakin menigkat itu tetapi tanpa merusak kondisi hidrologinya sendiri.
d. BIMAS, INMAS, INSUS dan Panca Usaha Pertanian.
Dalam rangka meningkatkan produk pertanian, pemerintah Orde Baru melaksanakn program intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian yang dimulai sejak Pelita I dan Pelita-Pelita berikutnya. Pada waktu itu dilaksanakan program Bimbingan Masal (BIMAS) yang kemudian berubah menjadi Intensifikasi Masal (INMAS), Intensifikasi Khusus (INSUS) dan Panca Usaha Pertanian. Dalam usaha meningkatkan produksi pertanian padi, dilakukan penanaman bibit unggul, sepertu Varietas Unggul Baru (VUB) atau High Yealding Varietas (HYV) sebagai hasil penelitian International Rice Research Institute (IRRI).
2. Kebijakan Pertanian di Era Reformasi
a. SRI (System of Rice Intensification)
Perkembangan pdi SRI (System of Rice Intensification) yang terkenal dengan motonya “More Rice with Less Water” atau hasil beras meningkat dengan penggunaan air yang sedikit, sampai saat ini masih mengalami kendala teknis dan non teknis di tingkat lapangan. Dengan melihat keistimewaan sistem ini, terutama dari segi produktifitas dan efisiensi pengairan ( yang identik dengan perluasan areal irigasi), beberapa perbaikan sistem harus dilakukan agar pengembangannya dapat dilaksanakan seluas-luasnya.
Berikut adalah beberapa keistimewaan sistem SRI bagi pengembangan budidaya padi sawah:
SRI hanya membutuhkan benih yang jauh lebih sedikit, yaitu 5-10 kg per-hektar yang berbanding 40-60 kg padi per-hektar pada sistem konvensional.
Produktifitas dengan sistem SRI telah terbukti secara signifikan meningkat dengan B/C rato (perbandingan nilai hasil terhadap biaya) yang lebih baik dibanding sistem konvesional. Hal ini jelas akan meningkatkan pendaptan petani.
Sistem pengairan yang intermitten / terputus sampai kondisi tanah kering meretak akan memperbaiki lingkungan mikro bagi tanah sehingga secara pasti akan memperbaiki kondisi tanah, baik fisik, kimia maupun biologi. Hal ini dapat dipercepat apabila pemupukannya menggunakan pupuk organik. Beberapa artikel penelitian membuktikan bahwa kandungan mikro organisme pada tanah yang ditanami padi SRI mengalami peningkatan kualitas. Tentu saja harus diperhatikan pula proses pengembalian serasah padi pada tanah asalnya.
Penggunaan air yang jauh lebih sedikit dibanding dengan sistem konvensional akan memperbaiki efisiensi pengairan dan dengan demikian memiliki potensi bagi perluasan areal irigasi.
Dengan demikian SRI sangat menunjang program ekstensifikasi areal irigasi yang merupakan sumber utama ketahanan pangan (terutama beras). Sampai saat ini, areal irigasi yang ada masih banyak yang belum mampu mengairi padi 100% pada musim tanam kedua (kemarau).
Namun demikian, ternyata pengembangan SRI di banyak areal irigasi masih menghadapi beberapa kendala yang cukup mengganggu, yaitu:
Metode penanaman dengan bibit muda dan hanya satu bibit pertitik tanam dianggap masih merepotkan bagi petani. Hal ini terutama dialami pada daerah-daerah yang kekurangan buruh tani. Biasanya daerah seperti ini adalah daerah yang berada tidak jauh dari perkotaan karena banyak buruh tani yang bekerja sambilan di kota sebagai tukang atau buruh industri, atau juga di daerah yang terpencil dimana jumlah penduduk masih kurang. Selain itu, banyak pula daerah yang buruh taninya merupakan pendatang musiman yang belum familier dengan SRI sehingga hasil tanamnya kurang baik. Hal ini tentunya membutuhkan pembinaan yang lebih cermat.
Petani yang baru pertama kali melaksanakan SRI banyak yang mengeluhkan pertumbuhan gulma yang jauh lebih banyak dibanding dengan sistem konvensional. Hal ini dapat dimengerti karena pengeringan akan mendorong benih gulma tumbuh dengan leluasa (pada jenis gulma yang berkembang melalui biji atau umbi). Oleh karena itu pengembangan SRI perlu disertai dengan pembinaan pengendalian gulma yang baik (pada pelaksanaan demplot SRI sangat disarankan utuk menggunakan lalandak dalam mengendalikan gulma).
SRI masih menyebakan kebingunan dalam sistem pembagian air karena belum adanya panduan yang pasti mengenai hal ini. Dalam hal perencanaan, operasional irigasi dengan SRI belum mempunyai angka dasar hidrologi yang baku, sehingga para ahli hidrologi masih belum dapat merencanakan sistem pembagian air yang ideal. Penelitian akan hal ini sangat diperlukan guna mendapatkan angka koefisien yang baku. Pembagian air irigasi dalam SRI juga sangat menuntut sistem pertanaman serempak, terutama pada satu petak tersier yang sama. Dilain pihak, sistem pertanaman serempak ini sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal sekalipun pada sistem konvensional.
Selain SRI, sistem Jajar Legowo yang dikombinasikan dengan pupuk organik dan juga padi Hibrida yang menggunakan sistem pengairan konvensional yang juga memberikan hasil produksi yang relatif sama, menjadi pesaing utama bagi pengembangan SRI.
Pada akhirnya, betatapapun banyaknya kelebihan yang dimiliki SRI, beberapa penyesuaian budaya, kebijakan pembangunan, maupun teknis, sangat diperlukan. Yang jelas, dengan kondisi lahan irigasi yang ada di Indonesia, SRI masih sangat diharapkan dapat dikembangkan secara luas terutama pada daerah irigasi yang pemenuhan airnya terbatas seperti di wilayah-wilayah Timur Indonesia.
b. Pembangunan Pertanian Lahan Beririgasi
Sesuai pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi, pengelolaan sistem irigasi diselenggarakan melalui azas partisipatif, terpadu, berwawasan lingkungan hidup, transparan, akuntabel, dan berkeadilan. Apa yang dimaksud dengan poin-poin tersebut ? Inilah kira-kira yang dimaksudkan dengan kaidah pengelolaan yang diharapkan dari peraturan tersebut;
Partisipatif ; sudah saatnya semua pihak, baik unsur pemerintah maupun pemanfaat jaringan irigasi (petani / P3A) memiliki dan mewujudkan azas inisiatif guna mengelola dan memelihara jaringan irigasi demi kemanfaatan yang sebesar-besarnya. Disini, pola desentralisasi sangat diharapkan terutama pada areal-areal yang merupakan kewenangan daerah (Baca Pasal 16, 17, dan 18 PP 20/2006). Petani melalui P3A dan GP3A, diharapkan memiliki inisisatif swadaya ataupun swakelola dalam melestarikan kedayagunaan jaringan irigasi, sementara pemerintah sesuai daerah kewenangannya bertanggungjawab untuk mendukung inisiatif yang muncul dari petani.
Terpadu ; keterpaduan yang dimaksud bukan hanya pada proses pemeliharaan pelestarian jaringan, akan tetapi lebih diutamakan pada pemanfaatan yang sebesar-besarnya untuk meningkatkan kesejahteraan petani lahan beririgasi yang pada akhirnya mewujudkan ketahanan pangan yang solid. Disini, dituntut koordinasi dan konsolidasi program antara 4 pemangku kepentingan pembangunan lahan beririgasi, yaitu Petani (P3A), PU Pengairan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan, dan Bappeda sebagai motor pembangunan daerah. Keterpaduan bukan hanya dari segi pemanfaatan, akan tetapi juga dari segi pembiayaan operasional dan pemeliharaan.
Berwawasan lingkungan ; dimaksudkan sebagai pemenuhan azas kelestarian pemanfaatan dan kegunaan. Oleh karenanya, disini dituntut pelaksanaan program pemeliharaan yang baik dan terstruktur serta dukungan program pelestarian sumber daya air itu sendiri yang merupakan wewenang dan tanggung jawab Ditjen SDA dan Kehutanan. Dari segi teknis pemanfaatan, Dinas Pertanian dituntut pula melaksanakan sistem pertanian yang mendukung azas pelestarian lingkungan hidup seperti menerapkan sistem pertanian terpadu, integrasi tanaman dan ternak, metode budidaya padi organik (melalui metode SRI atau Jajar Legowo), PHT, dan lain-lain.
Transparansi, akuntabel, dan berkeadilan ; poin ini merupakan hal yang gampang-gampang susah untuk dilaksanakan. Tidak ada kriteria yang jelas untuk memonitor realisasinya. Paling tidak kita dapat mengharapkan partisipasi masyarakat petani untuk dapat mengontrol ketiga poin tersebut. Dengan adanya peraturan ini, petani melalui organisasi P3A / GP3A dapat melakukan aksi pengawasan langsung atas proses dan pembiayaan operasi dan pemeliharaan di wilayah kewenangannya. Azas ini mensyiratkan bahwa proses pembangunan adalah milik masyarakat petani dan petani mempunyai hak untuk menentukan arah pembangunan daerahnya dan menuntut transparansi, akuntabilitas, dan keadilan kebijakan yang dilaksanakan.
III.PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pembangunan pertanian merupakan hal yang harus bagi setiap negara untuk terus memperbaharui produktifitas hasil buminya yang berupa tanaman, seperti tanamn pangan, tanaman hortikultura maupun tanaman perkebunan untuk meningkatkan ketahanan pangan bagi bangsanya yang terus meningkan. Selain itu juga bisa menghasilkan devisa yang cukup besar bagi negara.
Pada masa Orde Baru presiden Soeharto giat melakukan pembangunan pertanian dengan melakukan beberapa kebijakan seperti REPELITA, Revolusi Hijau, BIMAS, INMAS, INSUS, dan Panca Usaha Pertanian untuk meningkatkan pembangunan pertanian khususnya dalam peningkatana produktifitas tanaman pangna yang akhirnya mampu mewujudkan Indonesia swasembada pangan
Kebijakan-kebijakan juga terus berlanjut pada masa Reformasi hingga sekarang yang menghasilkan cara-cara yang lebih modern dan tidak menyulitkan bagi para petani untuk memberikan hasil terbaik dari sektor pertanian Indonesia seperti pembuatan areal irigasi maupun penemuan bibit-bibit unggul yang menghasilkan hasil terbaik dari sektor pertanian.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafie, Rita. (2010). Pengantar Ekonomi Pertanian. ANDI. Yogyakarta.
Novianto, Arief.(2012).”Pengaruh Liberalisasi Pangan di Indonesia terhadap Ketahanan Pangan Nasional
Rifai,Ade Indrawan. (2012).”Dampak Pembangunan sektor pertanian tanaman pangan terhadap perekonomian indonesia”. Jakartar : UI.
Malian,A husni.Juni 2004.volume 2 no 2.kebijakan perdagangan internasional komoditas pertanian Indonesia.Bogor
http://basatimakoyuku.blogspot.co.id/2015/04/bab-i-pendahuluan-1_4.html
Sarasutha.2002.jurnal litbang 21/2.kinerja tani dan pemasaran jagung di sentra produksi.sulawesi selatan.
Comments
Post a Comment